Selasa, 31 Desember 2013

MATERI PAJAK 1



PENGERTIAN PAJAK
Menurut Deutsche Reichs Abgaben Ordnung, mengatakan “pajak adalah bantuan uang secara incidental atau secara periodic yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (=Negara), untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu sasaran pemajakan ,yang karena undang-undang telah menimbulkan utang pajak.”
Menurut Mr.Dr.N.J.Feldmann, mengatakan “pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan umum), tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.”
Menurut Prof.Dr.M.J.H.Smeets, mengatakan “pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.”  
Menurut Dr.Soeparman Soemahamidjaja, mengatakan “pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”
Menurut Prof.Dr.Rochmat Soemintro,S.H.,mengatakan “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa imbal kontraprestasi yang langsung dapat di tunjukkan dan yang di gunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
CIRI-CIRI YANG MELEKAT PADA PENGERTIAN PAJAK
Ciri-ciri pajak yang tersimpul dalam berbagai definisi adalah :
1.      Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah.
2.      Pajak dipungut berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya, sehingga  dapat dipaksakan.
3.      Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah.
4.      Pajak dipungut oleh Negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
5.      Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
6.      Pajak dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah.
7.      Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung.
FUNGSI PAJAK
Fungsi budgetair/Financial yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas Negara dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara.
Penerimaan dari sector pajak dewasa ini menjadi tulang punggung penerimaan Negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk tahun anggaran 1996/1997 jumlah penerimaan pajak mendoninasi 61,78% dari total penerimaan APBN atau 71,59% dari penerimaan dalam negeri. Penerimaan minyak dan gas bumi (migas) yang sempat menjadi primadona pada saat oil boom ternyata pada tahun yang sama hanya menyumbang 18,06% dari total penerimaan dalam negeri, sedangkan penerimaan bukan pajak hanya memberikan sumbangan sebesar 10,35% terhadap penerimaan dalam negeri.
Fungsi regulerend/fungsi mengatur yaitu pajak yang digunakan sebagai alat fungsi mengatur masyarakat baik dibidang ekonomi, social maupun politik dengan tujuan tertentu.
Pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dapat dilihat dalam contoh sebagai berikut:
1.      Pemberian insentif pajak (misalnya: tax holiday, penyusutan dipercepat) dalam rangka meningkatkan investasi baik investasi dalam negeri maupun investasi asing.
2.      Pengenaan pajak ekspor untuk produk-produk tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri.
3.      Pengenaan Bea Masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk produk-produk impor tertentu dalam rangka melindungi produk-produk dalam negeri.


PENDEKATAN TERHADAP PAJAK
Sebagai sesuatu yang ada di masyarakat, pajak dapat didekatindari berbagai segi, misalnya dari segi sosiologi, dari segi politik, dari segi ekonomi, dari segi hukum,dsb. Pada bagian ini hanya akan dibahas mengenai pendekatan pajak dari segi hukum dan ekonomi.
1.      Pajak ditinjau dari segi hukum
Rochmat Soemitro mengatakan bahwa :
“Pajak dilihat dari segi hukum dapat didefinisikan sebagai perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seorang memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang, untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada Negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat imbalan yang secara langsung dapt ditunjuk yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara.[1]
Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa pajak merupakan sebuah perikatan. Akan tetapi, perikatan dalam pajak berbeda dengan perikatan perdata pada umumnya, karena beberapa hal yakni :
a.       Perikatan perdata dapat lahir karena perjanjian dan dapat pula karena undang-undang, sedangkan perikatan pajak hanya lahir karena undang-undang dan tidak lahir karena perjanjian.[2]
b.      Dalam perikatan perdata hubungan hukum terjadi di antara para pihak yang mempunyai kedudukan yang sama/sederajat, sementara di dalam perikatan pajak kedudukan para pihaknya tidak sederajat. Dalam hal ini perikatan pajak melibatkan orang yang telah memenuhi syarat tertentu[3] untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada Negara yang dapat dipaksakan. Dari pendekatan seperti itu pajak menitikberatkan pada perikatan dan hak kewajiban dari para pihak. Dalam hal ini perikatan terjadi antara pihak selaku fiscus[4] dengan rakyat selaku subyek pajak/wajib pajak. Perikatan antara fiscus dengan subyek pajak/wajib pajak tersebut memberikan posisi yang berada kepada para pihak.
2.      Pajak ditinjau dari segi ekonomi
Dilihat dari segi ekonomi, pajak dapat dilihat dari sisi mikroekonomi maupun dari sisi makro ekonomi. Seperti dikatakan oleh Rochmat Soemitro, bahwa:
Dari segi mikro ekonomi mengurangi income individu, mengurangi daya beli seseorang, mengurangi kesejahteraan individu, mengubah pola hidup wajib pajak. Dari segi makro ekonomi, pajak merupakan income bagi masyarakat (Negara) tanpa menimbulkan kewajiban pada Negara terhadap wajib pajak.[5]
PENGENAAN PAJAK
A.    Stelsel Pajak
Stelsel pajak pada umumnya tidak terlepas dari system pemungutan, hal tersebut karena keduanya saling berkaitan. System oemungutan pajak lebih menekankan masalah waktu dimana pada umumnya ada tiga system, yaitu system pemungutan pajak didepan, pemungutan pajak ditengah dan pemungutan pajak dibelakang.
1.      Stelsel riil/nyata
Dalam stelsel riil/nyata pengenaan pajak didasarkan pada keadaan dari obyek pajak yang sesungguhnya. Apabila pajak itu dikenakan terhadap penghasilan misalnya, maka pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan yang sungguh-sungguh diterima atau diperoleh oleh wajib pajak.
2.      Stelsel anggapan
Berbeda dengan stelsel riil dimana pengenaan pajak didasarkan pada keadaan dari obyek pajak yang sesungguhnya, maka dalam stelsel anggapan pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan hukum (fictie) tertentu. Sekalipun dasarnya adalah anggapan, tetapi anggapan ini tidaklah dengan serta merta dan sembarang saja. Fictie hukum yang dipakai ini misalnya menganggap bahwa penghasilan yang diterima oleh setiap wajib pajak adalah sama besarnya untuk setiap tahun pajak.
3.      Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan perpaduan dari dua stelsel yang telah diuraikan di atas dan sekaligus merupakan upaya untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan dari kedua stelsel sebelumnya. Dalam stelsel campuran, utang pajak dikenakan dengan mendasarkan stelsel fictie pada awal masa/tahun pajak yang itu merupakan ketetapan yang bersifat sementara, dimana setelah masa/tahun pajak berakhir akan dikoreksi berdasarkan keadaan dari penghasilan yang sesungguhnya diterima oleh wajib pajak.
B.     Sistem pemungutan pajak
Maksud sistem pemungutan pajak yaitu sebagai sistem pemungutan tidak hanya sebatas pada masalah waktu seperti yang telah disebut dalam uraian mengenai stelsel, melainkan juga mengenai kewenangan dan tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan besarnya utang pajak. Seperti diketahui bahwa dikenal dengan adanya beberapa sistem pemungutan pajak, yaitu :
1.      Official assessment system, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri dari sistem ini adalah:
a.       Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiscus;
b.      Wajib pajak bersifat pasif;
c.       Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak[6] oleh fiscus.
Dalam sistem ini pihak fiscus masih cukup dominan untuk menghitung dan menetapkan utang pajak.
2.      Self assessment system, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak tang terutang. Ciri-ciri dari sistem ini :
a.       Wewenang utk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri;
b.      Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang;
c.       Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
Sistem self assessment ini diterapkan pada jenis pajak dimana wajib pajaknya dipandang cukup mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan utang pajaknya sendiri. Dalam hal ini, subyek pajak/wajib pajaknya relative terbatas, tidak seperti dalam Pajak Bumi dan Bangunan.
3.      With holding sytem, yaitu sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiscus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Yang banyak melakukan tanggung jawab pajak adalah pihak ketiga. Dapat dilihat dalam pajak penghasilan, khususnya PPh. Pasal 21, dimana pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun dan sebagainya yang kepadanya diserahi tanggung jawab untuk memotong pajak terhadap penghasilan yang mereka bayarkan.
C.    Tarif pajak
Besarnya utang pajak ditentukan oleh dua komponen utama, yaitu jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak atau jumlah yang dikenai pajak (tax base) dan tariff yang diterapkan terhadapnya (tax rates). Oleh karena itu, untuk menentukan besarnya pajak dapat digunakan rumus :
T = Tb x Tr
T adalah  besarnya utang pajak (tax)
Tb adalah dasar pengenaan pajak (tax base)
Tr adalah tarif pajak (tax rates).
Ada beberapamacam tarif yang dikenal didalam pajak. Dari macam-macam tarif tersebut tidak semuanya diterapkan didalam praktek karena akan menimbulkan masalah keadilan. Macam-macam tarif itu adalah:
1.      Tarif Tetap
Tarif tetap yaitu tariff pajak yang jumlah nominalnya tetap walaupun dasar pengenaan pajaknya berbeda/berubah, sehingga jumlah pajak yang terutang selalu tetap.
Contoh : Bea materai untuk cek dan bilyet giro, berapapun nominalnya dikenakan Rp. 3000
Dasar Pengenaan Pajak
Jumlah Pajak
Rp.10.000.000
Rp.20.000.000
Rp.30.000.000
Rp.40.000.000
Rp.3.000
Rp.3.000
Rp.3.000
Rp.3.000

2.      Tarif Proporsional atau Sebanding
Tariff proporsional yaitu tarif pajak yang merupakan persentase yang tetap, tetapi jumlah pajak yang terutang akan berubah secara proporsional/sebanding dengan dasar pengenaan pajaknya.
Contoh : tarif PPN 10%
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Jumlah Pajak
Rp.10.000.000
Rp.20.000.000
Rp.30.000.000
Rp.40.000.000
10%
10%
10%
10%
Rp.1.000.000
Rp.2.000.000
Rp.3.000.000
Rp.4.000.000
                                                                                                                                   
3.      Tarif Progresif
Tarif progresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin besar jika dasar pengenaan pajaknya meningkat. Jumlah pajak yang terutang akan berubah sesuai dengan perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaan pajaknya.
Tarif progresif ini dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a.       Tarif progresif-proporsional
b.      Tarif progresif-progresif
c.       Tarif progresif-degresif
Tarif progresif-proporsional yaitu tariff pajak yang persentasenya semakin besar jika dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya peningkatan dari tarifnya sama besar.
Tarif progresif-progresif yaitu tarif pajak yang persentasenya semakin besar jika dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya peningkatan tarifnya semakin besar.
Tarif progresif-degresif yaitu tarif pajak yang persentasenya semakin besar jika dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya peningkatan tarifnya semakin kecil.
4.      Tarif Degresif
Tarif degresif yaitu tarif pajak yang persentasenya semakin kecil jika dasar pengenaan pajaknya meningkat. Tarif degresif ini dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a.       Tarif degresif-proporsional
b.      Tarif degresif-progresif
c.       Tarif degresif-degresif
Tarif degresif-proporsional yaitu tarif pajak yang persentasenya semakin kecil jika dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya penurunan dari tarifnya sama besar.
Contoh tarif degresif-proporsinal absolut
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Penurunan Tarif
Jumlah Pajak
Rp 10 juta
Rp 20 juta

Rp 30 juta

Rp 40 juta
s.d Rp 10 juta = 25%
di atas Rp 10 juta s.d Rp 20 juta = 20%
di atas Rp 20 juta s.d Rp 30 juta = 15%
di atas Rp 30 juta = 20%
-
5%

5%

5%
Rp 2,5 juta (10 juta x 25 %)
Rp 4 juta (20 juta x 20%)

Rp 4,5 juta (30 juta x 15%)

Rp 4 juta (40 juta x 10%)

Contoh tarif degresif-proporsional berlapisan
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Penurunan Tarif
Jumlah Pajak
Rp 100 juta
Rp 200 juta

Rp 300 juta

Rp 400 juta
s.d Rp 10 juta = 25%
di atas Rp 10 juta s.d Rp 20 juta = 20%
di atas Rp 20 juta s.d Rp 30 juta = 15%
di atas Rp 30 juta = 10%
-
5%

5%

5%
Rp 2,5 juta (10 juta x 25 %)
Rp 4 juta (10 juta x 25% + 10 juta x 20%)
Rp 6 juta (10 juta x 25% + 10 juta x 20% + 10 juta x 15%)
Rp 7 juta (10 juta x 25% + 10 juta x 20% + 10 juta x 15% + 10 juta x 10%)
                
Tarif degresif yaitu tariff pajak yang persentasenya semakin kecil jika dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya penurunan dari tarifnya semakin besar.
Tarif degresif-degresif yaitu tarif pajak yang persentasenya semakin kecil jika dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya penurunan dari tarinya semakin kecil.
Contoh tarif degresif-degresif absolut
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Penurunan Tarif
Jumlah Pajak
Rp 10 juta
Rp 20 juta

Rp 30 juta

Rp 40 juta
s.d Rp 10 juta = 40%
di atas Rp 10 juta s.d Rp 20 juta = 25%
di atas Rp 20 juta s.d Rp 30 juta = 15%
di atas Rp 30 juta = 10%
-
15%

10%

5%
Rp 4 juta (10 juta x 40 %)
Rp 5 juta (20 juta x 25%)

Rp 4,5 juta (30 juta x 15%)

Rp 4 juta (40 juta x 10%)

Contoh tarif degresif-degresif berlapisan
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Penurunan Tarif
Jumlah Pajak
Rp 100 juta
Rp 200 juta

Rp 300 juta

Rp 400 juta
s.d Rp 10 juta = 40%
di atas Rp 10 juta s.d Rp 20 juta = 25%
di atas Rp 20 juta s.d Rp 30 juta = 15%
di atas Rp 30 juta = 10%
-
15%

10%

5%
Rp 4 juta (10 juta x 40 %)
Rp 6,5 juta (10 juta x 40% + 10 juta x 25%)
Rp 8 juta (10 juta x 40% + 10 juta x 25% + 10 juta x 15%)
Rp 9 juta (10 juta x 40% + 10 juta x 25% + 10 juta x 15% + 10 juta x 10%)

Di samping tarif-tarif di atas, masih ada yang di sebut tarif bentham/sistem bentham yaitu tarif pajak yang memodifikasi tarif proporsinal dengan memberikan jumlah tertentu sebagai batas tidak kena pajak yang tidak di kenakan pajak, pajak hanya dikenakan atas jumlah yang melebihi batas tidak kena pajak. Tarif ini akan menghasilkan tarif efektif yang berbeda-beda, tarif efektif tidak pernah mencapai tarif pajak yang ditentukan tetapi semakain mendekati kalau objek pajaknya semakin besar.
Contoh :
Objek Pajak
Batas Tidak Kena Pajak
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Jumlah Pajak
Tarif Efektif
Rp 5 juta
Rp 10 juta
Rp 20 juta
Rp 30 juta
Rp 40 juta
Rp 5 juta
Rp 5 juta
Rp 5 juta
Rp 5 juta
Rp 5 juta

0
Rp 5 juta
Rp 15 juta
Rp 25 juta
Rp 35 juta
10%
10%
10%
10%
10%
0
Rp 500.000
Rp 1.500.000
Rp 2.500.000
Rp 3.500.000
0%
5%
7,5%
8,33%
8,75%

Sistem ini di Indonesia di adaptasi dalam Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.


DAFTAR PUSTAKA
Suandy, Erly.,2002, Hukum Pajak, Edisi Kedua, Salemba Empat, Jakarta.
Pudyatmoko, Sri.,2002, Pengantar Hukum Pajak, Andi, Yogyakarta.


[1]  Rochmat Soemintro, 1992, Asas dan Dasar Perpajakan 1.
[2]  Rochmat Soemintro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak,PT.Eresco Bandung.
[3]  Dalam bidang pajak mereka sering disebut sebagai “subyek pajak”, yakni mereka yang telah memenuhi syarat subyektif dan dibedakan dengan “wajib pajak”, dimana selain memenuhi syarat subyek maka harus memenuhi syarat obyek pula.
[4]  Dalam hal ini istilah “fiscus” diartikan sebagai seluruh aparatur pajak sebagai wakil Negara.
[5] Rochmat Soemitro, 1992,Pengantar Singkat Hukum Pajak.
[6]  Yang dimaksud sebagai Surat Ketetapan Pajak disini tidak sama dengan Surat Ketetapan Pajak dalam UU Tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang didalamnya terkandung denda. Akan tetapi Surat Ketetapan Pajak disini maksudnya sebagai Surat yang isisnya ketetapan mengenai jumlah utang pajak yang harus dibayar wajib pajak, yang dikeluarkan oleh fiscus. Sehingga SPPT termasuk dalam pengertian ini.